SEJARAH PEMIKIRAN MASYARAKAT MADANI
Konsep
Civil Society di Eropa
Konsep
Civil Society lahir dari pergolakan
politik dan masyarakat Eropa Barat yang mengalami proses transformasi dari pola
kehidupan feodal menuju kehidupan masyarakat kapitalis. Jika dicari akar
sejarah awalnya, maka perkembangan wacana Masyarakat Madani dapat diruntut
mulai dari Cicero
sampai pada Antonio Gramsci dan De Tocquiville.[1]
Bahkan sebenarnya wacana masyarakat madani sudah mengemuka sejak masa
Aristoteles (384-322 SM). Pada waktu itu masyarakat madani dipahami sebagai
kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia
politike, yakni sebuah komunitas percaturan tempat warga dapat terlibat
langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan.
Istilah koinonia politike dipakai
oleh Aristoteles untuk menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis di mana
warga negara di dalamnya berkedudukan sama di depan hukum.
Pemikiran
Aristoteles ini kemudian diikuti oleh Marcus Tullius Cicero (106-43 SM). Cicero
menggunakan kata “Societe civiole”
yakni sebuah komunitas yang mendominasi komunitas lain. Cicero
lebih menekankan konsep Negara kota (City-state)
yakni untuk mengembangkan kerajaan, kota
dan bentuk korporasi lainnya sebagai suatu kesatuan yang terorganisir. Masyarakat sipil disebutnya sebagai
sebuah masyarakat politik ( Political Society) yang memiliki kode hukum sebagai pengaturan hidup.[2]
Konsepsi
civil society kemudian dikembangkan
oleh Thomas Hobbes (1588-1679 M) dan Jhon Locke (1632-1704). Menurut Hobbes,
masyarakat madani harus memiliki kekuasaan mutlak agar mampu sepenuhnya
mengotrol dan mengawasi secara ketat pola-pola interaksi (perilaku politik)
setiap warga Negara. Sedangkan Locke berpendapat bahwa kehadiran masyarakat
madani dimaksudkan untuk melindungi kebebasan dan hak milik setiap warga
Negara. Konsekuensinya adalah masyarakat madani tidak boleh absolute dan harus
membatasi perannya pada wilayah yang tidak bisa dikelola masyarakat dan
memberikan ruang yang manusiawi bagi warga Negara untuk memperoleh haknya
secara adil dan proprsional.
Kemudian pada tahun 1767 wacana
masyarakat madani dikembangkan oleh Adam Ferguson dengan mengambil konteks
sosio-kultural dan politik Skotlandia. Ia menekankan bahwa masyarakat madani
pada sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat. Paham ini digunakan untuk
mengantisipasi perubahan sosial yang
diakibatkan oleh revolusi industri dan munculnya kapitalisme serta mencoloknya
perbedaan antara publik dan individu. Ferguson
berharap bahwa publik memiliki spirit untuk mengahalangi munculnya kembali
depositme karena dalam masyarakat madani itulah solidaritas sosial muncul dan
diilhami oleh sentimen moral dan sikap saling menyayangi serta saling
mempercayai antar warganegara secara alamiah.
Pada tahun 1972 Thomas Paine memunculkan
aksentuasi yang berbeda. Ia menggunakan istilah masyarakat madani sebagai
kelompok masyarakat yang memiliki posisi secara diametral dengan Negara, bahkan
dianggapnya sebagai anti tesis dari negara. Baginya masyarakat madani adalah ruang di mana warga
dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan
kepentingannya secara bebas dan tanpa paksaan. Paine juga mengidealkan
terciptanya suatu gerakan yang menjadi domain masyarakat di mana intervensi
Negara di dalamnya merupakan aktivitas yang tidak sah dan tidak dibenarkan.
Oleh karena itu, masyarakat madani harus lebih kuat dan mampu mengontrol Negara
demi kebutuhannya.
Selanjutnya civil
society dikembangkan oleh GWF Hegel (1770-1832 M) dan Karl Marx (1818-1883)
serta Antonio Gramsci (1891-1873). Ketiga tokoh ini menekankan bahwa masyarakat
madani sebagai elemen ideologi kelas dominan. Menurut Hegel masyarakat madani
merupakan kelompok subkordinatif dari Negara. Ada tiga entitas dari struktur sosial yakni keluarga, masyarakat madani,
dan Negara. Sedangkan Karl marx memahami masyarakat madani sebagai “masyarakat
borjuis” dalam konteks hubungan produksi kapitalis, keberadaannya merupakan
kendala bagi pembebasan masyarakat tanpa kelas. Sedangkan Antonia Gramsci lebih
melihat masyarakat madani dari segi ideologis. Bila Marx menempatkan masyarakat
madani pada basis material, maka Gramsci meletakkannya pada superstruktur
berdampingan dengan negara yang ia sebut sebagai political society. Masyarakat
madani merupakan tempat perbuatan posisi hegemonik di luar kekuatan negara.
Pada
periode berikutnya wacana masyarakat madani dikembangkan oleh Alexis de’ Tocqueville
(1805-1859 M). Ia mendasari pemikirannya pada pengalaman demokrasi Amerika
dengan mengembangkan teori masyarakat madani sebagai entitas penyeimbangan
kekuatan negara. Bagi de’ Tocqueville, kekuatan politik dan masyarakat
madanilah yang menjadikan demokrasi di Amerika mempunyai daya tahan. Dengan
terwujudnya pluralitas, kemandirian dan kapasitas politik di dalam masyarakat
madani, maka warga negara akan mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan
negara. Berbeda dengan para hegelia, ia lebih menekankan masyarakat madani
sebagai suatu yang apriori subordinatif terhadap negara. Ia bersifat otonom dan
memiliki kapasitas politik cukup tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan
penyeimbang (balancing force) untuk menahan kecenderungan intervensi negara.
Bahkan menurutnya masyarakat madani menjadi sumber legitimasi negara serta pada
saat yang sama mampu melahirkan kritis reflektis (reflective-force) untuk
mengurangi frekuensi konflik dalam masyarakat sebagai akibat proses formasi
modern.
Model
pengembangan masyarakat madani yang ditawarkan oleh Gramsci dan Tocqueville di
atas yang menjadi inspirasi gerakan pro demokrasi di Eopa Timur dan Tengah
sekitar dasawarsa 80-an. Gagasan tentang masyarakat madani kemudian menjadi
semacam landasan ideologis untuk membebaskan diri dari cengkeraman negara yang secara sistematis melemahkan daya kreasi
dan kemandirian masyarakat.
Masyarakat Madani (civil society) di Indonesia
Masyarakat Madani (civil society) muncul
di Indonesia sekitar tahun 90-an. Konsep masyarakat Madani sebenarnya
sudah lama berkembang di Barat yang kemudian lambat laun menghilang. Wacana
masyarakat madani kemudian kembali dihidupkan dan dikembangkan sebagai wacana
politik cultural modern yang kemudian dikaji dan dikembangkan juga di
Indonesia.
Dalam
sejarah Indonesia ,
masyarakat sipil sudah ada sebelum Republik Indonesia lahir, bahkan sebelum
abad 20. Pedagang Islam (Dag Serikat Islam), misalnya, yang dibentuk pada tahun
1908 oleh Haji Samanhudi, di Solo,
Jawa Tengah. Selain itu, Kyai
Haji Achmad Dachlan mendirikan asosiasi sosial dan keagamaan, Muhammadiyah,
yang didirikan di Yogyakarta sebuah klinik dan panti asuhan yang menawarkan
anak asuh, perawatan medis untuk orang tua, dan bahkan desa dan bantuan bantuan
hukum. Pada tahun 1926, Kyai Haji Hasyim Asy'ari dan Kyai Haji Wahab Hasbullah
mendirikan Nahdhatul Ulama di Surabaya. yang didasarkan pada model asrama
sekolah Islam tradisional bahasa Indonesia yang disebut pesantren. Setelah itu
beberapa organisasi Islam bermunculan, seperti Al Washiliyah di Sumatera Utara,
Tarbiyah Islamiyah di Sumatera Selatan, Nahdhatul Wathan di Nusa Tenggara
Barat, Al Khairaat di Sulawesi Tengah, dan Al Irsyad di Jawa Tengah, untuk
menyebutkan hanya lebih penting organisasi Islam. Hal ini tentunya mengejutkan,
karena pada saat itu sektor swasta pribumi belum menjadi jelas terlihat.
Perjuangan masyarakat
madani di Indonesia pada awal pergerakan kebangsaan kemudian dilanjutkan oleh
Soeltan Syahrir pada awal kemerdekaan. Jiwa demokrasi Soeltan Syahrir ternyata
harus menghadapi kekuatan represif baik dari rezim Orde Lama di bawah pimpinan
Soekarno maupun rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto, tuntutan perjuangan
transformasi menuju masyarakat madani pada era reformasi ini tampaknya sudah
tak terbendungkan lagi dengan tokoh utamanya adalah Amien Rais dari Yogyakarta.
Ruslan Abdul Ghani mengatakan bahwa Indonesia
mengalami tiga periode pertumbuhan: kemerdekaan Indonesia periode (1945-1959),
yang merupakan periode bangunan negara; periode 1959-1967, yang merupakan
periode bangsa dan pembentukan karakter; dan periode dari tahun 1967 hingga
saat ini, yang merupakan periode perkembangan ekonomi. Meskipun ketepatan klasifikasi
ini dapat dipertanyakan, tentu ini periode awal kemerdekaan nasional merupakan
periode perkembangan nasional, ditandai dengan pembuatan tiga konstitusi,
pemilihan umum dan penyusunan konstitusi baru oleh dewan konstitusi yang
dihasilkan dari pemilihan umum.[3]
Pada masa kemerdekaan awal, tanda-tanda munculnya
masyarakat sipil masih belum jelas. Tapi sejak 1940-an, pers yang independen
dan kritis telah mengumpulkan kekuatan, buku telah diterbitkan, dan universitas
telah terlihat tumbuh dan diartikulasikan kebebasan platform berbicara. Dari
universitas telah muncul tokoh-tokoh ilmiah dan intelektual yang telah terlihat
pada tingkat nasional. Pada tahun 1950, gerakan mahasiswa menjadi sangat
terlihat, baik dari dalam atau luar universitas. Namun yang paling mencolok
pada saat itu adalah partai politik, termasuk organisasi besar seperti Masyumi
(Majlis Syuro Muslimin Indonesia), yang memakai peran sebuah partai Muslim
modernis; NU (Nahdhatul Ulama), yang mewakili Muslim tradisional; PM (Partai
Nasional Indonesia), yang mewakili kelompok nasionalis, dan PKI (Partai Komunis
Indonesia), yang dipimpin oleh kaum sosialis. Juga termasuk adalah partai kecil
seperti PSI (Partai Sosialis Indonesia), sebuah organisasi payung untuk
kelompok demokratis sosial; Partai Katolik dan Parkindo (Partai Kristen
Indonesia), yang menyediakan tempat bagi aspirasi Kristen, dan beberapa partai
kecil lainnya .
Pasar ini juga diperkuat oleh pelaku ekonomi kecil
dan menengah. Tulang punggung perekonomian adalah perusahaan asing, yang masih
mampu memberi kontribusi pajak ke negara itu. Sejak tahun 1959, bagaimanapun,
skala besar nasionalisasi dilakukan. Dengan tidak adanya perusahaan asing besar
(yang sudah dinasionalisasi atau memiliki kegiatan mereka dihapus), usaha kecil
mampu tumbuh dalam sistem ekonomi terpimpin. Jelas, usaha kecil mampu membuat
ketentuan untuk masyarakat sipil, meskipun sebagian dari mereka didukung oleh
dana asing, terutama di kalangan Kristen / Katolik. Organisasi keagamaan masih
mampu mempertahankan yayasan keagamaan dan nasional, yang menjadi partai
pendukung di tingkat akar rumput.
Di bawah perlindungan sebuah demokrasi terpimpin
dan sistem ekonomi, bangsa ini mampu mandiri. Di bawah kepemimpinan BUMN milik
nasional dan koperasi, ekonomi sosialis dicoba. Meskipun negara ini sangat
menekan kehidupan masyarakat sipil yang berkembang pada periode demokrasi
liberal, organisasi-organisasi sipil mampu menunjukkan vitalitas mereka di
bawah tekanan dari demokrasi terpimpin.
Di
Indonesia pada awal pertumbuhannya yang dimulai dengan Revolusi pada tanggal 17
Agustus 1945, bangsa kita sepakat untuk berbangsa dan bernegara dengan bentuk
Republik yang berarti bahwa kekuasaan dan kedaulatan negara sepenuhnya ditangan
Rakyat. Hal ini sesungguhnya telah menjadi momentum awal penghapusan sistem
feodal kenegaraan yang kurun waktu sebelumnya berkuasa di belahan Nusantara.
Bentuk Republik ini telah memberikan angin segar dan penghapusan penindasan dan
ketidakberdayaan rakyat yang dialami selama kurang lebih tiga setengah abad
yang lalu.
.
Salah satu prinsip pembangunan sosial tetap bertahan dan berkembang di bawah
Orde Baru, namun rusak, dan itulah prinsip ekonomi nasional pengembangan, yang
datang ke sendiri di tahun tujuh puluhan-an dan awal tahun delapan puluhan.
Nilai-nilai sosial pembangunan di Indonesia berakar pada perjuangan
anti-kolonial, dalam analisis eksploitasi kolonial dan keterbelakangan, dan
dalam pemulihan lebih tua nilai-nilai komunal dicampur dengan semangat baru
sosialisme. Pembangunan nasional sebagai sosial termasuk nilai semua ini dan di
bawah Soekarno termasuk banyak dari nilai-nilai sosial dan prinsip
internasional (yang memunculkan misalnya untuk Konferensi Bandung), yang juga
selamat di Soviet Rusia. Dan lebih jauh termasuk keyakinan bahwa kedua negara
dan ekonomi harus dihukum bekerja untuk ini nilai sosial. Kita tahu revolusi datang pada tahun 1998, ada
pembicaraan sangat sedikit nilai-nilai lainnya. Pembicaraan itu dari kebebasan
sipil, seperti kebebasan pers dan kebebasan berserikat - dimengerti, ketika ini
tampak begitu luas di tempat lain dan ditolak di Indonesia; dan berbicara
adalah tentang bagaimana korupsi telah terhenti pembangunan nasional. Dalam pemikiran ini Indonesia berbeda dari
Rusia dan Eropa Timur.[4]
Namum realitas yang ada sesudah diberlakukannya sistim pemerintahan republik di Indonesia, penindasan dan ketidakberdayaan rakyat terhadap penguasa masih berlaku. Pada masa orde Lama dan Orde baru justru “Neofeodalisme” masih berlaku dan bahkan sudah sangat sulit untuk dihilangkan. Kekuasaan dan kedaulatan ditangan rakyat hanya sebatas “retorika” dari para penguasa. Arti kedaulatan rakyat yang didambakan dan dicita-citakan yang telah dirumuskan secara jelas sebagai dasar negara masih belum berjalan secara maksimal. Hal ini berimplikasi pada sikap penguasa rezim orde lama dan orde baru yang cenderung menampakkan sikap sebagai penguasa ketimbang sebagai pamong. Berbagai perintah, petunjuk dan arahan secara dominan masih mewarnai komunikasi antara pejabat dan rakyatnya. Selain hal tersebut warisan penjajah kolonial pun masih tampak dikalangan kelompok warga tertentu yang kebetulan memiliki strata sosial yang lebih tinggi dari kelompok lainnya.
Namum realitas yang ada sesudah diberlakukannya sistim pemerintahan republik di Indonesia, penindasan dan ketidakberdayaan rakyat terhadap penguasa masih berlaku. Pada masa orde Lama dan Orde baru justru “Neofeodalisme” masih berlaku dan bahkan sudah sangat sulit untuk dihilangkan. Kekuasaan dan kedaulatan ditangan rakyat hanya sebatas “retorika” dari para penguasa. Arti kedaulatan rakyat yang didambakan dan dicita-citakan yang telah dirumuskan secara jelas sebagai dasar negara masih belum berjalan secara maksimal. Hal ini berimplikasi pada sikap penguasa rezim orde lama dan orde baru yang cenderung menampakkan sikap sebagai penguasa ketimbang sebagai pamong. Berbagai perintah, petunjuk dan arahan secara dominan masih mewarnai komunikasi antara pejabat dan rakyatnya. Selain hal tersebut warisan penjajah kolonial pun masih tampak dikalangan kelompok warga tertentu yang kebetulan memiliki strata sosial yang lebih tinggi dari kelompok lainnya.
Disisi lain, masyarakat
Indonesia pada dasarnya masih “enggan” untuk melepaskan diri dari tatanan lama,
masyarakat terbiasa dengan sikap ketergantungan pada penguasa atau pimpinan,
yang diwujudkan dalam bentuk sikap dan loyalitas yang sempit. Hal ini terbukti
dari perspektif teoritis tentang watak hubungan negara-masyarakat. Padahal,
dominasi negara atas masyarakat menjadi ciri utama Pemerintahan Orde Baru di
mana kehidupan politik di Indonesia amat sangat diwarnai dan didominasi oleh
negara.
Konsep “Masyarakat Madani” merupakan penerjemahan
atau pengislaman konsep “civil society”. Di Indonesia, orang yang
pertama mengungkapkan istilah ini ialah Anwar Ibrahim dan kemudian dikembangkan
oleh Nurcholis Madjid. Anwar Ibrahim menyatakan bahwa:
Masyarakat madani adalah Sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dan kestabilan masyarakat.
Masyarakat mendorong daya usaha serta inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintahan,mengikuti undang –
undang dan bukan nafsu atau keinginan individu, menjadikan keterdugaan atau predicatability serta ketulusan atau
transparancy sistem.[5]
Konsepsi
civil society di Indonesia menurut Madjid pada awalnya lebih
merujuk pada dunia Islam yang ditunjukan oleh masyarakat kota Arab. Sebaliknya, lawan
dari kata atau istilah masyarakat nonmadani adalah kaum pengembara, badawah,
yang masih membawa citranya yang kasar, berwawasan pengetahuan yang
sempit, masyarakat puritan, tradisional penuh mitos dan takhayul, banyak
memainkan kekuasaan dan kekuatan, sering dan suka menindas, dan sifat-sifat
negatif lainnya. Keadaan masyarakat nonmadani ini menurut Suwardi seperti yang
ditunjukan oleh perilaku manusia Orde Baru yakni pada saat itu ada mitos bahwa
hanya Soeharto saja yang mampu memimpin bangsa dengan menggunakan kekuatan ABRI
untuk mempertahankan staus quo. Lebih lanjut ditambahkan oleh Suwardi
bahwa ada satu hal yang perlu dipahami yaitu masyarakat madani bukanlah
masyarakat yang bebas dari senjata atau ABRI (sekarang TNI); civil society tidak
berkebalikan dengan masyarakat pimpinan TNI seperti yang banyak diasumsikan
orang awam.
Istilah
madani sebenarnya berasal dari bahasa Arab, madaniy. Kata madaniy berakar
dari kata kerja madana yang berarti mendiami, tinggal, atau membangun.
Kemudian berubah istilah menjadi madaniy yang artinya beradab, orang kota , orang sipil, dan
yang bersifat sipil atau perdata. Dengan demikian, istilah madaniy dalam
bahasa Arabnya mempunyai banyak arti. Konsep masyarakat madani menurut Madjid
kerapkali dipandang telah berjasa dalam menghadapi rancangan kekuasaan otoriter
dan menentang pemerintahan yang sewenang-wenang di Amerika Latin, Eropa
Selatan, dan Eropa Timur.
Istilah
masyarakat madani selain mengacu pada konsep civil society juga
berdasarkan pada konsep negara-kota Madinah yang dibangun Nabi Muhammad SAW
pada tahun 622M. Masyarakat madani juga mengacu pada konsep tamadhun (masyarakat
yang berperadaban) yang diperkenalkan oleh Ibn Khaldun dan konsep Al
Madinah al fadhilah (Madinah sebagai Negara Utama) yang diungkapkan oleh
filsuf Al Farabi pada abad pertengahan. Kaum reformis yang anti status quo
menjadi semakin besar dalam menuntut terealisirnya masyarakat madani.
Masyarakat madani yang mereka harapkan adalah masyarakat yang lebih terbuka,
pluralistik, dan desentralistik dengan partisipasi politik yang lebih besar,
jujur, adil, mandiri, harmonis, memihak yang lemah, menjamin kebebasan
beragama, berbicara, berserikat dan berekspresi, menjamin hak kepemilikan dan
menghormati hak-hak asasi manusia.
Dari
realitas tersebut diatas ancaman disintegrasi bangsa terhadap negara Kesatuan
Republik Indonesia
akan terjadi jika pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk mencarikan solusi
dan strategi yang terbaik dalam mengantisipasi dampak negatif dari perubahan
itu sendiri. Wacana Masyarakat Madani atau Civil Society menjadi sebuah keharusan
untuk kemudian menjadi salah satu alternatif dari upaya penciptaan tatanan
masyarakat hukum yang terbebas dari penindasan dan ketidakadilan. Yang kemudian pada akhirnya akan mengantar
bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia menuju tatanan Masyarakan Baru.[6]
[1] Untuk informasi lebih
lengkap dapat di lihat di http://en.wikipedia.org/wiki/Civil
society, 10 Maret 2012.; Bdk. Stefano Harney dan Rita Olivia, Masyarakat Sipil dan Organisasi Masyarakat
Sipil di Indonesia (Jenewa: Kantor Perburuhan Internasional, 2003), hlm.
18-19.
[2] M. Dawam Raharjo, Sejarah Agama dan Masyarakat Madani dalam Membongkar “Mitos” Masyarakat Madani (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001), hlm. 18.
[3] M. Habib Chirzin, Perkembangan Masyarakat Sipil di Indonesia
dan Peran Organisasi Sukarela dalam http://i-epistemology.net/communication-a-human-development/1116-the-development-of-civil-society-in-indonesia-and-the-role-of-voluntary-organizations.html, 2 Maret 2012.
[5] M.
Dawan Rahardjo, “Masyarakat Madani di Indonesia, Sebuah Penjajakan Awal”, dalam
Paramadina, Vol. I, No. 2 (Jakarta: 1999),
hlm. 23.
Casino Near You - Mapyro
ReplyDeleteFind all information 군산 출장안마 and best deals of Casino Near You on Mapyro. 포항 출장안마 Nearby Casino. Best Western 여수 출장마사지 Casinos With Casino Nearby. Mapyro 구미 출장안마 has the 나주 출장안마 most traffic and