Sunday, May 15, 2016

SEJARAH PEMIKIRAN MASYARAKAT MADANI
           
Konsep Civil Society di Eropa
           
Konsep Civil Society lahir dari pergolakan politik dan masyarakat Eropa Barat yang mengalami proses transformasi dari pola kehidupan feodal menuju kehidupan masyarakat kapitalis. Jika dicari akar sejarah awalnya, maka perkembangan wacana Masyarakat Madani dapat diruntut mulai dari Cicero sampai pada Antonio Gramsci dan De Tocquiville.[1] Bahkan sebenarnya wacana masyarakat madani sudah mengemuka sejak masa Aristoteles (384-322 SM). Pada waktu itu masyarakat madani dipahami sebagai kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas percaturan tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Istilah koinonia politike dipakai oleh Aristoteles untuk menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis di mana warga negara di dalamnya berkedudukan sama di depan hukum.
Pemikiran Aristoteles ini kemudian diikuti oleh Marcus Tullius Cicero (106-43 SM).  Cicero menggunakan kata “Societe civiole” yakni sebuah komunitas yang mendominasi komunitas lain. Cicero lebih menekankan konsep Negara kota (City-state) yakni untuk mengembangkan kerajaan, kota dan bentuk korporasi lainnya sebagai suatu kesatuan yang terorganisir. Masyarakat sipil disebutnya sebagai sebuah masyarakat politik ( Political Society) yang memiliki kode hukum sebagai pengaturan hidup.[2]
Konsepsi civil society kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679 M) dan Jhon Locke (1632-1704). Menurut Hobbes, masyarakat madani harus memiliki kekuasaan mutlak agar mampu sepenuhnya mengotrol dan mengawasi secara ketat pola-pola interaksi (perilaku politik) setiap warga Negara. Sedangkan Locke berpendapat bahwa kehadiran masyarakat madani dimaksudkan untuk melindungi kebebasan dan hak milik setiap warga Negara. Konsekuensinya adalah masyarakat madani tidak boleh absolute dan harus membatasi perannya pada wilayah yang tidak bisa dikelola masyarakat dan memberikan ruang yang manusiawi bagi warga Negara untuk memperoleh haknya secara adil dan proprsional. 
            Kemudian pada tahun 1767 wacana masyarakat madani dikembangkan oleh Adam Ferguson dengan mengambil konteks sosio-kultural dan politik Skotlandia. Ia menekankan bahwa masyarakat madani pada sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat. Paham ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial  yang diakibatkan oleh revolusi industri dan munculnya kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara publik dan individu. Ferguson berharap bahwa publik memiliki spirit untuk mengahalangi munculnya kembali depositme karena dalam masyarakat madani itulah solidaritas sosial muncul dan diilhami oleh sentimen moral dan sikap saling menyayangi serta saling mempercayai antar warganegara secara alamiah.
            Pada tahun 1972 Thomas Paine memunculkan aksentuasi yang berbeda. Ia menggunakan istilah masyarakat madani sebagai kelompok masyarakat yang memiliki posisi secara diametral dengan Negara, bahkan dianggapnya sebagai anti tesis dari negara. Baginya  masyarakat madani adalah ruang di mana warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas dan tanpa paksaan. Paine juga mengidealkan terciptanya suatu gerakan yang menjadi domain masyarakat di mana intervensi Negara di dalamnya merupakan aktivitas yang tidak sah dan tidak dibenarkan. Oleh karena itu, masyarakat madani harus lebih kuat dan mampu mengontrol Negara demi kebutuhannya.
            Selanjutnya  civil society dikembangkan oleh GWF Hegel (1770-1832 M) dan Karl Marx (1818-1883) serta Antonio Gramsci (1891-1873). Ketiga tokoh ini menekankan bahwa masyarakat madani sebagai elemen ideologi kelas dominan. Menurut Hegel masyarakat madani merupakan kelompok subkordinatif dari Negara. Ada tiga entitas dari struktur sosial yakni keluarga, masyarakat madani, dan Negara. Sedangkan Karl marx memahami masyarakat madani sebagai “masyarakat borjuis” dalam konteks hubungan produksi kapitalis, keberadaannya merupakan kendala bagi pembebasan masyarakat tanpa kelas. Sedangkan Antonia Gramsci lebih melihat masyarakat madani dari segi ideologis. Bila Marx menempatkan masyarakat madani pada basis material, maka Gramsci meletakkannya pada superstruktur berdampingan dengan negara yang ia sebut sebagai political society. Masyarakat madani merupakan tempat perbuatan posisi hegemonik di luar kekuatan negara.
            Pada periode berikutnya wacana masyarakat madani dikembangkan oleh Alexis de’ Tocqueville (1805-1859 M). Ia mendasari pemikirannya pada pengalaman demokrasi Amerika dengan mengembangkan teori masyarakat madani sebagai entitas penyeimbangan kekuatan negara. Bagi de’ Tocqueville, kekuatan politik dan masyarakat madanilah yang menjadikan demokrasi di Amerika mempunyai daya tahan. Dengan terwujudnya pluralitas, kemandirian dan kapasitas politik di dalam masyarakat madani, maka warga negara akan mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan negara. Berbeda dengan para hegelia, ia lebih menekankan masyarakat madani sebagai suatu yang apriori subordinatif terhadap negara. Ia bersifat otonom dan memiliki kapasitas politik cukup tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan penyeimbang (balancing force) untuk menahan kecenderungan intervensi negara. Bahkan menurutnya masyarakat madani menjadi sumber legitimasi negara serta pada saat yang sama mampu melahirkan kritis reflektis (reflective-force) untuk mengurangi frekuensi konflik dalam masyarakat sebagai akibat proses formasi modern. 
            Model pengembangan masyarakat madani yang ditawarkan oleh Gramsci dan Tocqueville di atas yang menjadi inspirasi gerakan pro demokrasi di Eopa Timur dan Tengah sekitar dasawarsa 80-an. Gagasan tentang masyarakat madani kemudian menjadi semacam landasan ideologis untuk membebaskan diri dari cengkeraman negara  yang secara sistematis melemahkan daya kreasi dan kemandirian masyarakat.


Masyarakat Madani (civil society) di Indonesia
Masyarakat Madani (civil society) muncul di Indonesia sekitar tahun 90-an. Konsep masyarakat Madani sebenarnya sudah lama berkembang di Barat yang kemudian lambat laun menghilang. Wacana masyarakat madani kemudian kembali dihidupkan dan dikembangkan sebagai wacana politik cultural modern yang kemudian dikaji dan dikembangkan juga di Indonesia.
Dalam sejarah Indonesia, masyarakat sipil sudah ada sebelum Republik Indonesia lahir, bahkan sebelum abad 20. Pedagang Islam (Dag Serikat Islam), misalnya, yang dibentuk pada tahun 1908 oleh Haji Samanhudi, di Solo, Jawa Tengah. Selain itu, Kyai Haji Achmad Dachlan mendirikan asosiasi sosial dan keagamaan, Muhammadiyah, yang didirikan di Yogyakarta sebuah klinik dan panti asuhan yang menawarkan anak asuh, perawatan medis untuk orang tua, dan bahkan desa dan bantuan bantuan hukum. Pada tahun 1926, Kyai Haji Hasyim Asy'ari dan Kyai Haji Wahab Hasbullah mendirikan Nahdhatul Ulama di Surabaya. yang didasarkan pada model asrama sekolah Islam tradisional bahasa Indonesia yang disebut pesantren. Setelah itu beberapa organisasi Islam bermunculan, seperti Al Washiliyah di Sumatera Utara, Tarbiyah Islamiyah di Sumatera Selatan, Nahdhatul Wathan di Nusa Tenggara Barat, Al Khairaat di Sulawesi Tengah, dan Al Irsyad di Jawa Tengah, untuk menyebutkan hanya lebih penting organisasi Islam. Hal ini tentunya mengejutkan, karena pada saat itu sektor swasta pribumi belum menjadi jelas terlihat.
            Perjuangan masyarakat madani di Indonesia pada awal pergerakan kebangsaan kemudian dilanjutkan oleh Soeltan Syahrir pada awal kemerdekaan. Jiwa demokrasi Soeltan Syahrir ternyata harus menghadapi kekuatan represif baik dari rezim Orde Lama di bawah pimpinan Soekarno maupun rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto, tuntutan perjuangan transformasi menuju masyarakat madani pada era reformasi ini tampaknya sudah tak terbendungkan lagi dengan tokoh utamanya adalah Amien Rais dari Yogyakarta.
Ruslan Abdul Ghani mengatakan bahwa Indonesia mengalami tiga periode pertumbuhan: kemerdekaan Indonesia periode (1945-1959), yang merupakan periode bangunan negara; periode 1959-1967, yang merupakan periode bangsa dan pembentukan karakter; dan periode dari tahun 1967 hingga saat ini, yang merupakan periode perkembangan ekonomi. Meskipun ketepatan klasifikasi ini dapat dipertanyakan, tentu ini periode awal kemerdekaan nasional merupakan periode perkembangan nasional, ditandai dengan pembuatan tiga konstitusi, pemilihan umum dan penyusunan konstitusi baru oleh dewan konstitusi yang dihasilkan dari pemilihan umum.[3]
Pada masa kemerdekaan awal, tanda-tanda munculnya masyarakat sipil masih belum jelas. Tapi sejak 1940-an, pers yang independen dan kritis telah mengumpulkan kekuatan, buku telah diterbitkan, dan universitas telah terlihat tumbuh dan diartikulasikan kebebasan platform berbicara. Dari universitas telah muncul tokoh-tokoh ilmiah dan intelektual yang telah terlihat pada tingkat nasional. Pada tahun 1950, gerakan mahasiswa menjadi sangat terlihat, baik dari dalam atau luar universitas. Namun yang paling mencolok pada saat itu adalah partai politik, termasuk organisasi besar seperti Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia), yang memakai peran sebuah partai Muslim modernis; NU (Nahdhatul Ulama), yang mewakili Muslim tradisional; PM (Partai Nasional Indonesia), yang mewakili kelompok nasionalis, dan PKI (Partai Komunis Indonesia), yang dipimpin oleh kaum sosialis. Juga termasuk adalah partai kecil seperti PSI (Partai Sosialis Indonesia), sebuah organisasi payung untuk kelompok demokratis sosial; Partai Katolik dan Parkindo (Partai Kristen Indonesia), yang menyediakan tempat bagi aspirasi Kristen, dan beberapa partai kecil lainnya .
Pasar ini juga diperkuat oleh pelaku ekonomi kecil dan menengah. Tulang punggung perekonomian adalah perusahaan asing, yang masih mampu memberi kontribusi pajak ke negara itu. Sejak tahun 1959, bagaimanapun, skala besar nasionalisasi dilakukan. Dengan tidak adanya perusahaan asing besar (yang sudah dinasionalisasi atau memiliki kegiatan mereka dihapus), usaha kecil mampu tumbuh dalam sistem ekonomi terpimpin. Jelas, usaha kecil mampu membuat ketentuan untuk masyarakat sipil, meskipun sebagian dari mereka didukung oleh dana asing, terutama di kalangan Kristen / Katolik. Organisasi keagamaan masih mampu mempertahankan yayasan keagamaan dan nasional, yang menjadi partai pendukung di tingkat akar rumput.
Di bawah perlindungan sebuah demokrasi terpimpin dan sistem ekonomi, bangsa ini mampu mandiri. Di bawah kepemimpinan BUMN milik nasional dan koperasi, ekonomi sosialis dicoba. Meskipun negara ini sangat menekan kehidupan masyarakat sipil yang berkembang pada periode demokrasi liberal, organisasi-organisasi sipil mampu menunjukkan vitalitas mereka di bawah tekanan dari demokrasi terpimpin.
            Di Indonesia pada awal pertumbuhannya yang dimulai dengan Revolusi pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa kita sepakat untuk berbangsa dan bernegara dengan bentuk Republik yang berarti bahwa kekuasaan dan kedaulatan negara sepenuhnya ditangan Rakyat. Hal ini sesungguhnya telah menjadi momentum awal penghapusan sistem feodal kenegaraan yang kurun waktu sebelumnya berkuasa di belahan Nusantara. Bentuk Republik ini telah memberikan angin segar dan penghapusan penindasan dan ketidakberdayaan rakyat yang dialami selama kurang lebih tiga setengah abad yang lalu.
            . Salah satu prinsip pembangunan sosial tetap bertahan dan berkembang di bawah Orde Baru, namun rusak, dan itulah prinsip ekonomi nasional pengembangan, yang datang ke sendiri di tahun tujuh puluhan-an dan awal tahun delapan puluhan. Nilai-nilai sosial pembangunan di Indonesia berakar pada perjuangan anti-kolonial, dalam analisis eksploitasi kolonial dan keterbelakangan, dan dalam pemulihan lebih tua nilai-nilai komunal dicampur dengan semangat baru sosialisme. Pembangunan nasional sebagai sosial termasuk nilai semua ini dan di bawah Soekarno termasuk banyak dari nilai-nilai sosial dan prinsip internasional (yang memunculkan misalnya untuk Konferensi Bandung), yang juga selamat di Soviet Rusia. Dan lebih jauh termasuk keyakinan bahwa kedua negara dan ekonomi harus dihukum bekerja untuk ini nilai sosial. Kita tahu revolusi datang pada tahun 1998, ada pembicaraan sangat sedikit nilai-nilai lainnya. Pembicaraan itu dari kebebasan sipil, seperti kebebasan pers dan kebebasan berserikat - dimengerti, ketika ini tampak begitu luas di tempat lain dan ditolak di Indonesia; dan berbicara adalah tentang bagaimana korupsi telah terhenti pembangunan nasional. Dalam pemikiran ini Indonesia berbeda dari Rusia dan Eropa Timur.[4]
            Namum realitas yang ada sesudah diberlakukannya sistim pemerintahan republik di Indonesia, penindasan dan ketidakberdayaan rakyat terhadap penguasa masih berlaku. Pada masa orde Lama dan Orde baru justru “Neofeodalisme” masih berlaku dan bahkan sudah sangat sulit untuk dihilangkan. Kekuasaan dan kedaulatan ditangan rakyat hanya sebatas “retorika” dari para penguasa. Arti kedaulatan rakyat yang didambakan dan dicita-citakan yang telah dirumuskan secara jelas sebagai dasar negara masih belum berjalan secara maksimal. Hal ini berimplikasi pada sikap penguasa rezim orde lama dan orde baru yang cenderung menampakkan sikap sebagai penguasa ketimbang sebagai pamong. Berbagai perintah, petunjuk dan arahan secara dominan masih mewarnai komunikasi antara pejabat dan rakyatnya. Selain hal tersebut warisan penjajah kolonial pun masih tampak dikalangan kelompok warga tertentu yang kebetulan memiliki strata sosial yang lebih tinggi dari kelompok lainnya.
Disisi lain, masyarakat Indonesia pada dasarnya masih “enggan” untuk melepaskan diri dari tatanan lama, masyarakat terbiasa dengan sikap ketergantungan pada penguasa atau pimpinan, yang diwujudkan dalam bentuk sikap dan loyalitas yang sempit. Hal ini terbukti dari perspektif teoritis tentang watak hubungan negara-masyarakat. Padahal, dominasi negara atas masyarakat menjadi ciri utama Pemerintahan Orde Baru di mana kehidupan politik di Indonesia amat sangat diwarnai dan didominasi oleh negara.
Konsep “Masyarakat Madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep “civil society”. Di Indonesia, orang yang pertama mengungkapkan istilah ini ialah Anwar Ibrahim dan kemudian dikembangkan oleh Nurcholis Madjid. Anwar Ibrahim menyatakan bahwa:
Masyarakat madani adalah Sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha serta inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintahan,mengikuti undang – undang dan bukan nafsu atau keinginan individu, menjadikan keterdugaan atau predicatability serta ketulusan atau transparancy sistem.[5]
        Konsepsi civil society di Indonesia menurut Madjid pada awalnya lebih merujuk pada dunia Islam yang ditunjukan oleh masyarakat kota Arab. Sebaliknya, lawan dari kata atau istilah masyarakat nonmadani adalah kaum pengembara, badawah, yang masih membawa citranya yang kasar, berwawasan pengetahuan yang sempit, masyarakat puritan, tradisional penuh mitos dan takhayul, banyak memainkan kekuasaan dan kekuatan, sering dan suka menindas, dan sifat-sifat negatif lainnya. Keadaan masyarakat nonmadani ini menurut Suwardi seperti yang ditunjukan oleh perilaku manusia Orde Baru yakni pada saat itu ada mitos bahwa hanya Soeharto saja yang mampu memimpin bangsa dengan menggunakan kekuatan ABRI untuk mempertahankan staus quo. Lebih lanjut ditambahkan oleh Suwardi bahwa ada satu hal yang perlu dipahami yaitu masyarakat madani bukanlah masyarakat yang bebas dari senjata atau ABRI (sekarang TNI); civil society tidak berkebalikan dengan masyarakat pimpinan TNI seperti yang banyak diasumsikan orang awam.
            Istilah madani sebenarnya berasal dari bahasa Arab, madaniy. Kata madaniy berakar dari kata kerja madana yang berarti mendiami, tinggal, atau membangun. Kemudian berubah istilah menjadi madaniy yang artinya beradab, orang kota, orang sipil, dan yang bersifat sipil atau perdata. Dengan demikian, istilah madaniy dalam bahasa Arabnya mempunyai banyak arti. Konsep masyarakat madani menurut Madjid kerapkali dipandang telah berjasa dalam menghadapi rancangan kekuasaan otoriter dan menentang pemerintahan yang sewenang-wenang di Amerika Latin, Eropa Selatan, dan Eropa Timur.
            Istilah masyarakat madani selain mengacu pada konsep civil society juga berdasarkan pada konsep negara-kota Madinah yang dibangun Nabi Muhammad SAW pada tahun 622M. Masyarakat madani juga mengacu pada konsep tamadhun (masyarakat yang berperadaban) yang diperkenalkan oleh Ibn Khaldun dan konsep Al Madinah al fadhilah (Madinah sebagai Negara Utama) yang diungkapkan oleh filsuf Al Farabi pada abad pertengahan. Kaum reformis yang anti status quo menjadi semakin besar dalam menuntut terealisirnya masyarakat madani. Masyarakat madani yang mereka harapkan adalah masyarakat yang lebih terbuka, pluralistik, dan desentralistik dengan partisipasi politik yang lebih besar, jujur, adil, mandiri, harmonis, memihak yang lemah, menjamin kebebasan beragama, berbicara, berserikat dan berekspresi, menjamin hak kepemilikan dan menghormati hak-hak asasi manusia.
            Dari realitas tersebut diatas ancaman disintegrasi bangsa terhadap negara Kesatuan Republik Indonesia akan terjadi jika pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk mencarikan solusi dan strategi yang terbaik dalam mengantisipasi dampak negatif dari perubahan itu sendiri. Wacana Masyarakat Madani atau Civil Society menjadi sebuah keharusan untuk kemudian menjadi salah satu alternatif dari upaya penciptaan tatanan masyarakat hukum yang terbebas dari penindasan dan ketidakadilan. Yang kemudian pada akhirnya akan mengantar bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia menuju tatanan Masyarakan Baru.[6]






[1] Untuk informasi lebih lengkap dapat di lihat di http://en.wikipedia.org/wiki/Civil society, 10 Maret 2012.; Bdk. Stefano Harney dan Rita Olivia, Masyarakat Sipil dan Organisasi Masyarakat Sipil di Indonesia (Jenewa: Kantor Perburuhan Internasional, 2003), hlm. 18-19.

[2] M. Dawam Raharjo, Sejarah Agama dan Masyarakat Madani dalam Membongkar “Mitos” Masyarakat Madani (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,  2001), hlm. 18.

            [3] M. Habib Chirzin, Perkembangan Masyarakat Sipil di Indonesia dan Peran Organisasi Sukarela dalam http://i-epistemology.net/communication-a-human-development/1116-the-development-of-civil-society-in-indonesia-and-the-role-of-voluntary-organizations.html, 2 Maret 2012. 

                [4] Bdk. Stefano Harney dan Rita Olivia, Masyarakat Sipil ..., hlm. 26.

[5] M. Dawan Rahardjo, “Masyarakat Madani di Indonesia, Sebuah Penjajakan Awal”, dalam Paramadina, Vol. I, No. 2 (Jakarta: 1999), hlm. 23.

            [6] “Wacana Masyarakat Madani dalam http:// sosbud.kompasiana.com/.../wacana-masyarakat-madani-di-indonesia, 10 Maret 2012.

1 comment:

  1. Casino Near You - Mapyro
    Find all information 군산 출장안마 and best deals of Casino Near You on Mapyro. 포항 출장안마 Nearby Casino. Best Western 여수 출장마사지 Casinos With Casino Nearby. Mapyro 구미 출장안마 has the 나주 출장안마 most traffic and

    ReplyDelete