Secara etimologis, kata eksistensi berasal dari kata
latin existere. Kata existere sendiri merupakan gabungan dua
kata ex yang berarti keluar dan sistenstia (sistere) yang berarti berdiri. Jadi, existere berarti berdiri keluar. Dengan “berdiri keluar” artinya
manusia menemukan dirinya sebagai aku dengan keluar dari dirinya. Inilah kekhususan
atau ciri khas manusia. Eksistensi adalah cara khas manusia berada di dunia. Di
sebut khas karena cara ini hanya khusus bagi manusia, yang bereksistensi
hanyalah manusia. Eksistensi itu tidak sama dengan berada. Semua benda atau
binatang itu berada tetapi tidak bereksistensi. Filsafat yang berbicara tentang
atau merefleksikan eksistensi manusia ini disebut filsafat Eksistensialisme.[1]
Istilah eksistensi untuk manusia tidak memiliki
keseragaman arti dalam filsafat kontemporer yang disebut Fenomenologi
Eksistensial. Eksistensi memiliki arti tersendiri bagi setiap filsuf
eksistensialisme. Tetapi, dalam keanekaragaman itu terdapat inti makna yang
sama. Yang sama ialah bahwa dengan term
ini mereka mau mengatakan tentang cara khas manusia berada. Manusia adalah
subjek yang berada di tengah dunia dan berada di sana selalu dalam keadaan
“terbuka bagi” dan “hubungan dengan.”[2]
Banyak
istilah dipergunakan dalam menyebut manusia sebagai eksistensi. Karl Jaspers
menggunakan mögliche existenze, Martin
Heidegger menggunakan istilah in-der-Welt-Sein,
Dasein Mitsein, Gabriel Marcel menggunakan Avoir affaire au monde (berurusan dengan dunia), Maurice Merleau
Ponty, dengan perkataan etreau-monde,
menyebutkan manusia adalah subject bound
to the world, an embodied subjectivity in the world. Sementara itu, Jean
Paul Sartre berbicara tentang kesadaran yang selalu terarah kepada yang bukan
dirinya dan menyebut manusia itu summoning
of being.[3]